Orang lio sejak jaman dahulu kala tidak memiliki huruf laksaraj sehingga nenek moyang tidak dapat menulis cerita tentang siapa mereka sebenarnya, asal usul mereka sendiri tidak tahu, oleh sebab itu mereka hanya ingat dari cerita orang orang tua mereka sebelumnya tentang asal usul mereka; adat istiadat dan hukum hukumnya serta bagaimana perjuangan mereka sehingga mereka dapat mengikuti cara cara yang bersifat tradisi.
Oleh
sebab itu bila kita bertanya kepada mereka mengenai cerita cerita asal usul dan
adat istiadat maka yang kita dapat adalah keragaman pendapat dan versi yang
berbeda , terlepas dari itu Bapak disini tidak akan mengupaskan pendapat
pendapat yang beragam tentang orang Lio dengan seggala aspek nya melaikan
mengenai asal usul kita yaitu suku EMBU LEJA yang berada didesa Tenda.
Dulu kala kampung tenda itu menurut
cerita orang orang tua adalah suatu hutan yang sangat lebat dan didiami oleh
beberapa rumah yang letaknya berjauhan diantara pohon pohon besar (salah satu
pohon besar yang masih ada jita dan lele
yang bersatu ). Konon cerita sebagai pimpinan dikampung tenda ialah Leko (Nama orang ) yang sekarang
disebut EMBU LEKO. Hubungan antara Leko dan kampung wolojita sangat akrab
sekali . Dinamakan kampung Wolojita karena letaknya diatas bukit (bahasa daerah
bukit ialah Wolo) Sedangkan Jita ailah nama pohon yang banyak tumbuh kampung tersebut, oleh sebab itu kampung
tersebut disebut Wolojita.
Dikammpung
ini hanya didiami beberapa Suku (bahasa daerah nya biasa disebut Embu) antara
lain ngganda (nama suku + nama pemimpin
suku) dimama ngganda memiliki dua saudari yaitu Leja bewa dan leja boko .
Pada
suatu hari datanglah Leko dari tenda mengundang leja agar mau tinggal bersama
dengan nya dikampung tenda, dengan alasan karena dia merasa kesepian dan takut
jik ada kelompok – kelompok lain akan menyerang kelompok nya dan menduduki
kampung tenda itu. ... Pada akhirnya Leja bewa dan leja boko berunding dan
mendapatkan sepakat bahwa yang akan pergi dengan leko ketenda ialah Leja Bewa
dengan syarat bahwa Leja bewa akan kehilangan hak nya dari Embu Ngganda, akan
tetapi mereka meminta hak kepada Leko untuk memberikan hak kepemilikan seperti
tanah kepada Leja Bewa dan keturunanya dan harus memberikan hak pemerintahan
adat istiadat. Semua syarat itu dipenuhi oleh Leko, maka berangkatlah Leja Bewa
ke tenda dan tinggal berdampingan dengan leko, akan tetapi tidak berlangsung
lama akhirnya Leja menyukai anak nya Leko (Bernama Mora) dan ia langsung menikahinya hingga memiliki Keturunan. Seperti yang
dijanjikan Leko maka Leja memperoleh tanah dan pembagian nya sesuai dengan
pandangan adat yaitu pembagian nya denga cara sesuaikan dengan posisi laut
(yang pada saat itu laut terletak dibagian selata) maka tanah itu dibagi dimana
tanah milih Leja dihitung dari kanga (posisi di Tenda wena) sampai pinggir
kampung watumbani (nama kampung sekarang)
sedangkan punya Leko dari kamba sampai woloria. Kemudian karena pada
saat itu mereka dijajah oleh Belanda dan pada saat itu pemerintahan belanda
menyuh kampung tenda untuk memiliki padang rumput sendiri untuk makanan hewan
maka maka pembagian tanah yang semula nya sudah dibagi lalu dipindahkan dimana
leja mendapatkan tanah dari loworia kearah atas sampai sejajar dengan wolosoko-
watumbani –arah laut hingga sampai ke puu ndopo (diatas aelako) –aeulu –lowo nggeja-arah wolojita batasnya sampai
lowo rabu yaitu perbatasan wolojita(dimana lebih luas dibandingkan dengan
pembagian awal).
Pada
saat itu dan sampai sekarang tanah milih Embu Leja , jika ada masyarakat yang
ingin menggarap (diberikan akan tetapi tidak memberikan hak milik melaikan hak
makai) yang diberikan untuk digarap yaitu tanah didaerah wololele. Lalu tanah
didaerah Aeulu dimana terdapat sumber air sehingga ditanah tersebut dibangun
lah sawah dimana sawah tersebut dimiliki oleh Leja.
( biasanya air tersebut digunakan untuk
adat yaitu untuk siram pondok dan masak
yang biasa disebut Ae tau reki kuwu).
Dan
pada saat mengenai hak dalam upacara adat (Hukum adat ), berdasarkan
persetujuan bersama antara leko dan leja (sesuai dengan perjanjian diwolojita )
maka Leja lah yang diberi jabatan Sebagai Riabewa (Hakim adat) dan memegang
kuasa pelaksanaan adat (koekulu=upacara adat) dan juga adat pengadaan tanaman
dan panen tanaman adalah hak yang dilakukan oleh Leja dan keturunan nya.
Disamping hak mililiki adat Wolo lele , Leja juga memiliki tanah pribadi yaitu
yang terletak di Gawagetu,Laubiri,Tenalika (dekat kampung Pemo), Menapu dimana dapat dari perang melawan Saudara sendiri
yaitu Wolojita dimana pada peperangan tersebut siapa yang paling banyak
membunuh maka ia mendapat bagian yang paling luas.
Hingga sampai keturunan nya saat ini
tanah dimiliki oleh Keturunan Embu Leja.