Karya: Yohanes Luy
“AYAH,” kata Dina sambil membuka pintu kamar
Jhon.”Aku akan ke kota. Sepi sekali disini.”
“Kita
baru datang kemarin,” gerutu ayahnya.
“Ya,memang.
Tapi rasanya sudah seratus tahun.
Membosankan benar tempat ini.”
“Aku
tidak setuju,” kata Jhon . “ Disini tenang –tenang dan menyenangkan. Aku senang kembali ke rumah ini, dan dilayani
Runi. Dia benar-benar mengerti kesukaanku dan membuatku tenang. Ada orang
datang kemarin pagi dan tanya apakah mereka bisa mengadakan pertemuan untuk
musyawarah disini. Untungnya ada Runi. Kalau tidak pasti aku susah menolaknya.
Runi menjawab begitu bagus sehingga yang mendengar pasti tak sakit hati.”
“Menyenangkan
saja tidak cukup bagiku. Aku perlu sesuatu yang mendebarkan ,” kata Dina. Jhon
bergidik.
“Apa
kita tak cukup punya hal yang mendebarkan empat tahun yang lalu?” tanyanya.
“Aku rasanya ingin
lagi,” kata Dina. “Bukannya aku berharap akan menemukannya dikota. Pokoknya aku
tidak mau melelahkan rahangku dengan menguap terus-terusan.”
“Menurut
pengalamanku ,”kata Jhon ,” orang yang pergi mencari kesulitan biasanya
benar-benar menemui kesulitan.”Dia menguap. “Rasanya aku juga ingin pergi ke
kota.”
“Ayo
sekalian kalau begitu. Tapi cepat karena aku terburu – buru,”
Jhon
yang akan berdiri dari kursinya, duduk lagi.
“Kau
terburu-buru ?” tanyanya curiga
“Ya
Sangat terburu-buru,” kata Dina.
“Tidak
jadi saja kalau begitu,” kata Jhon. “ Aku tak ingin ikut naik mobil mu itu
kalau kau terburu-buru. Tidak baik orang sudah tua. Aku disini saja.”
“Baiklah
,”kata Jhon sambil keluar.
Runi
muncul dipintu menggantikan dia.
“Ada
Pak Ketua RT ingin bertemu Tuan. Ingin
membicarakan Surat pindah.
Jhon
menarik nafas.
“Saya
dengar waktu sarapan tadi, Tuan berkata akan tinggal didesa ini dan akan bicara
dengan Pak Ketua RT tentang hal itu.”
“Kau
memberi tahu dia?” tanya Jhon.
“Ya,Tuan.
Dia sudah pergi kalau boleh nanti saya katakan bahwa saya salah memberi
informasi. Apakah yang saya lakukan salah?”
Tentu
saja tidak. Kau tak pernah salah.”
Runi
tersenyum dan keluar.
Dina
membunyikan klaksonnya keras – keras didepan pintu gerbang. Seorang anak keluar
berlari dari pondok untuk membuka pintu. Ibu nya mengikuti dari belakang.
“Cepat,
Ani. Pasti nona muda sedang terburu-buru seperti biasa.”
Dina
memang selalu terburu-buru terutama kalau mengendarai mobil. Dia memang
pengemudi yang baik sekaligus pemberani; kalau tidak, pasti sudah mengalami
kecelakaan berkali-kali
Hari
itu udara bulan Oktober terasa sangat hangat. Lagit biru dan matahari bersinar
cerah sekali. Angin segar menepis pipi Dina dan membuat nya bersemangat.
Dina
menginjakkan kakinya ke pedal gas dan mobil itu memberi jawaban yang
mengasyikkan. Dia lewati mil demi mil, lalu lintas masih sepi. Akhirnya Dina
sampai ke jalan yang lurus dan kosong tanpa mobil.
Tiba
– tiba seorang laki-laki menggelinding dari pagar ke jalan tepat didepan mobil.
Dina tak punya kesempatan untuk menghentikan mobil nya. Dia membanting setir ke
kanan. Mobil itu hampir masuk selokan. Nyaris, sebuah mobil yang berbahaya ,
tetapi dia berhasil. Dina yakin dia menghindari orang itu.
Dia
melihat kebelakang. Perut nya terasa mual. Mobilnya tidak menabrak orang itu,
tapi tentunya menyerempet dia. Laki – laki itu tergeletak dengan muka
telungkup. Diam tak bergerak.
Dina
keluar dan mendekatinya. Dia tak pernah melindas sesuatu yang lebih berharga
dari seekor ayam liar. Tak terlintas
dalam kepalanya adanya kemungkinan bahwa laki-laki itu meninggal bukan karean
dia. Laki – laki itu kelihatan mabuk. Mabuk atau tidak, Dina telah membunuhnya.
Lagi – lagi dia merasa mual. Jantunnya terdetak begitu keras seolah – olah ada
di dekat telinganya.
Dia
berjongkok lalu ditelentangkannya orang itu. Orang itu tidak mengeluh atau
mengerang. Masih muda. Wajahnya menarik. Bajunya begitu bagus dan di atas
mulutnya ada kumis tipis.
Dia
tidak melihat luka – luka di badannya. Tapi dia tahu, bahwa orang itu sudah
meninggal atau sedang sekarat. Kelopak matanya terbuka sedikit. Mata coklat
yang menderita itu berusaha bertahan. Mulutnya berbisik. Dina mendekatkan
kepalanya.
“Ya,”katanya.
“Apa?”
Ada
yang ingin dikatakannya. Yang sangat ingin dikatakannya. Dan Dina tak bisa
berbuat apa – apa, tak bisa membantunya.
Akhirnya
dengan susah payah kata – kata itu keluar juga.
“LEONTIN....
katakan...”
“Ya,”
kata Dina lagi. Pria itu berusaha menyebutkan nama berusaha sekuat tenaga.
“Pada
siapa?”
“Katakan
....Rani....” Akhirnya dia bisa mengeluarkan nama itu. Tiba – tiba kepalanya
terkulai dan badannya lemas.
Dina
terduduk. Badannya gemetar. Tak pernah ia bayangkan akan mengalami hal yang
begitu mengerikan. Orang itu mati. Dialah yang menyebabkannya.
Dia
berusaha menabahkan hati dan menenangkan diri. Apa yang harus dilakukannya?
Dokter, itu reaksinya yang pertama. Barang kali dan itu mungkin laki – laki itu
hanya pingsan. Bukan mati. Tapi instingnya tidak mengatakan demikian. Diam
memaksakan diri untuk menerima kenyataan itu. Bagaimana pun dia harus memasukan
orang itu ke mobil dan membawanya ke dokter terdekat. Jalanan itu sangat sunyi
dan daerah itu memang terpencil. Dia tak dapat mengharapkan pertolongan orang
lain.
Walaupun
tubuhnya langsing, Dina adalah gadis yang kuat. Dia mendekatkan mobilnya ke
tubuh yang tergeletak itu dan dengan
sekuat tenaga mengangkat dan menyeret tubuh itu ke dalam mobil. Dengan susah
payah akhirnya dia berhasil menyelesaikannya “Pekerjaan” yang mengetikan itu.
Kemudian
dia meloncat ke belakang kemudi dan melaju ke sebuah kota kecil. Setelah
bertanya tanya mencari dokter akhirnya dia menghentikan mobil itu di alamat
yang dituju.
Dokter
Randi adalah seorang laki – laki setengah baya yang baik hati. Dia terkejut
melihat seorang gadis yang hampir pingsan.
Dina
bicara dengan cepat.
“Saya
– saya baru saja membunuh orang. Saya menabrak dia. Dia ada di mobil. Di luar.
Saya rasa saya mengemudi terlalu kencang. Saya selalu mengemudi mobil kencang –
kencang .”
Dokter
itu hanya memandangnya sekilas lalu mengambil sesuatu dari rak dan menuangnya
ke dalam gelas. Dia memberikan gelas itu pada Dina.
“Minumlah.
Kau baru saja kena shock,” katanya.
Dina
menurut dan wajahnya yang pucat pelan – pelan menjadi merah. Dokter itu
menganggukan kepala.
“Bagus.
Sekarang duduklah tenang- tenang di sini. Saya akan keluar memeriksa orang itu.
Sesudah itu kita bicara.”
Dokter
itu keluar. Dina memandang jam di atas perapian. Lima menit, sepuluh menit,
seperempat jam, dua puluh menit. Apa dia tidak kembali lagi? Kemudian pintu
terbuka dan Dr. Randi muncul. Wajahnya berubah muram dan kelihatan lebih hati –
hati. Dina bisa melihatnya dengan cepat. Ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang
coba dikatakannya.
“Baiklah,
Nona muda,” katanya. “Sekarang kita bicara. Kau tadi mengatakan menabrak orang
itu. Bagaimana ceritanya?”
Dina
mencoba menjelaskan sebaik –baiknya. Dokter itu mendengarkan dengan sungguh –
sungguh.
“Kalau
begitu mobilmu tidak menabrak dia?”
“Tidak,
Saya rasa mobil saya bahkan tidak menyentuhnya.”
“Kau
tadi mengatakan dia jatuh menggelinding?”
“Ya,
saya kira dia mabuk.”
“Dan
dia menggelinding dari pagar?”
“Kalau
tidak salah ada pintu gerbang disana. Tentunya dia melewati pintu itu.”
Dokter
itu mengangguk. Lalu menyandarkan diri ke kursi, dia mengangkat kaca matanya.
“Saya
percaya bahwa kau memang tukang ngebut, dan ada kemungkinan suatu ketika
menabrak orang. Tapi tidak kali ini.”
“Mobilmu memang tidak
menyentuh tubuh orang itu. Dia mati tertembak."