Karya: Ce Sani
Dari kejauhan
nampak sesosok rupa yang tak begitu asing terlihat. Ayunan langkah penuh pasti
kian mendekat, membuat hasrat ingin lebih mengenalnya. Avril, si gadis tomboi
dengan ransel yang menempel pada punggungnya berusaha untuk lebih mempercepat
langkahnya, menoleh kesana - kemari sembari memastikan bahwa ia tak sendirian.
Paling tidak, ada salah seorang dari penumpang kapal yang ia kenali.Di
depannya, ada segerombolan anak laki – laki yang seusianya tengah asyik duduk
membentuk lingkaran sambil meneguk minuman bersoda. Dengan berbekal rasa percaya
diri yang tinggi dalam dirinya, ia pun melangkah dan melewati segerombolan anak
laki - laki tersebut.
“Permisi,”sapa Avril dengan
sopannya. Serentak segerombolan anak laki – laki itu menjawabdengan setengah
suara, “Selamat sore, nona.” Tiba-tiba salah seorang dari mereka memberanikan
diri untuk berkenalan dengannya. “Hai ...kenalkan nama saya, Stefen.” laki-laki
itu mulai memperkenalkan dirinya sembari mengulurkantangan sebagai tanda awal
perkenalan. Avril pun menerima uluran tangan tersebut dengan ramahnya, sambil
berkata “Hai.. juga. Saya, Avril sani. Tapi, kamu boleh memanggil saya, Avril
saja. Yah... biar lebih akrab didengar.”Seketika Avril pun pamit dan bergegas
melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda menuju pintu kapal penyeberangan.
“Hmmm . . .gadis itu benar –
benar unik, ” kata Stenly “ Dia benar – benar beda dari sekianbanyak gadis yang
pernah ku temui,” lanjutnya. “Ah...yang benar saja kau,teman. Masa gadis
seperti dia kau masukkan dalam kategori unik. Matamu belum katarak kan,?”
sambung Niron dengan gesitnya. Maklumlah mereka ini segerombolan siswa yang
berasal dari sekolah putra, yang mana jarang dan bahkan susah sekali untuk
bersosialisasi dengan kaum yang berlawanan jenis. Perdebatan pun semakin gencar
– gencarnya diantara mereka. Namun tidak bagi Stefen, yang pada saat itu langsung
duduk sambil menopang dagu beralaskan sendal Carvil tempoedoeloe. Dalam hiruk –
pikuk yang tak menentu itu, ia hanya mengambil posisi diam seribu bahasa tak
seperti biasanya. Entah apa yang sedang ia pikirkan,baik Stenly, Niron, dan
beberapa kawan – kawan lainnya pun tak ada yang tahu. Mungkinkah ia sedang memikirkan
kemana tujuan keberangkatan si gadisberkaca mata yang baru saja ia kenali tadi.
Semua hanya berkisar pada taraf mungkin
dan hanya mungkin. Lamunan yang membawanya hilang sesaat,tiba – tiba
tersentak kaget oleh karena tepukan tangan salah seorang darimereka pada
pundaknya.
“Kakak, ada apa ? Mengapa
kau begitu dingin sore ini ? Haruskah kau terus berdiam disini, sedangkan
sebentar lagi kapal akan berangkat meninggalkan pelabuhan,”sapa Stenly dengan
ramahnya. “Tidak apa – apa. Saya cuma sedikit ingin menyendiri dalam keramaian
senja, serta memberikan kebebasan pada pikiran untuk pergi bertamasya ria
barang sejenak,” tukas Stefen. “Yah.. hitung – hitung sedikit mencari inspirasi
dikala senja mulai merekah,” tambahnya sambil sedikit mendesah nafas. Seketika
keduanya tersenyum lepas dan Stefen pun kembali berbaur dalam cerita bersama
teman – temannya. Maklumlah keduanya adalah saudara kembar.
Saat yang ditunggu pun tibalah.
Bunyi stom kapal kembali terdengar, pertanda kapal hendak berlayar mengarungi
lautan lepas. Tak ketinggalan pula Stefen dan kawan –kawannya pun mengambil
langkah seribu menghampiri pintu kapal yang jaraknya tidak begitu jauh dari
tempat dimana mereka bertengger kurang lebih setengah jam yang lalu.
***
Seperti
kata pepatah, pucuk dicinta ulam pun tiba. Stefen yang masih diselimuti penasaran
dengan gadis berkaca mata yang ditemuinya sewaktu di pelabuhan tadi, akhirnya
pun harus membuang jauh rasa itu. Karena tanpa pernah ia bayangkan, si gadis tadi
langsung menyapanya disertai dengan balutan senyum keindahan. Yang mana bagi
Stefen, senyuman itu telah membuka sedikit ruang dalam hatinya untuk satu rasa
yang masih tergolong misteri. “Hei, Stef! Kenapa melamun saja?” sapa Avril
saat menghampiri rekan barunya, Stefen. “Melamun? Ah . . tidak ! Siapa yang
melamun? Saya hanya sedang menatap lautan lepas yang membentang dengan indahnya
di depan mata,” jawab Stefen dengan tegasnya. Entah jawaban itu benar adanya
ataukah cuma bualan semata. Yah . . hanya Stefen dan Tuhan sajalah yang tahu.
Avril pun tampak diam meski sesungguhnya ada banyak hal yang ingin ia tanyakan.
Namun ternyata, Stefen yang tadinya diselimuti rasa penasaran akhirnya mulai
angkat bicara tuk membuka perbincangan ringan diantara keduanya.
“Nona,
kalau saya boleh tahu tujuan keberangkatanmu kemana?,” tanya Stefen dengan nada
ringan. “Memangnya menurut kamu kapal ini tujuan keberangkatannya kemana?,”
Avril pun kembali bertanya. “Ehmm, maaf kalau tidak keberatan, tolong jangan
panggil saya dengan panggilan itu,” sambungnya lagi dengan memasang muka yang
tak seperti sedia kala. “Yah . . . kapal ini nantinya berlabuh di pelabuhan
Aimere ...” jawab Stefen dengan santainya. “Oh ya, kenapa kamu terkesan marah ketika
saya menyapa kamu dengan panggilan itu? Bukankah panggilan itu pantas untuk
gadis seusia kamu?” Stefen pun kembali bertanya. Avril tak menjawab.Namun dari
raut wajah yang ditampilkan saat itu menunjukkan bahwa ia sangat tidak
bersahabat jika ia disapa dengan panggilan tersebut. Stefen langsung meminta
maaf dan sebisa mungkin mengembalikan situasi seperti semula. Tanpa banyak
berbasa basi, Avril pun langsung terbawa suasana baru yang diciptakanoleh rekan
seusia yang baru dikenalnya. Mereka pun saling bercengkerama dan bersenda
gurau, seolah sudah lama saling mengenal. Gelak tawa memecah kebisuan malam.
Keduanya sepakat untuk saling menyapa satu dengan yang lainnya dengan panggilan
“Mite” dan “Gigi”. Yang mana, “Mite” itu panggilan yang ditujukan untuk Stefen,
dan “Gigi” itu panggilan yang ditujukan untuk Avril. Angin sepoi disertai
dingin yang merasuk hingga seluruh tubuh, membuat keduanya memutuskan untuk
berhenti bercengkerama dikarenakan rasa kantuk yang tak tertahankan.Akhirnya
Avril meminta izin untuk pergi ke pembaringannya dan beristirahatsejenak. “Mite
. . . malam ini telah menghadirkan banyak kisah untuk kita. Jika dia bermulut,
pasti esok hari ia akan bercerita pada dunia tentang indahnya malam yang sedang
kita lalui,” kata Avril dengan puitisnya. “Dan andai kata ia berkenan,
pastinya ia akan menyelimuti kita berdua dengan bunga –bunga tidur yang tak
kalah cantiknya,” sambungnya lagi. “Gigi . . . malam akan selalu indah dan akan
terus mengisahkan tentang kita. Karena malam tidak berakhir sampai di sini.
Masih ada malam – malam yang lain, dimana malam itu akan menceritakan malam
yang saat ini tengah kita lewati.” Stefen pun tak kalah fasihnya dalam
merangkai kata. Maklumlah saat itu ia tengah bersekolah di Seminari Menengah,
sehingga mustahil baginya jika ia tak fasih dalam merajutuntaian-untaian kata.
Keduanya berjalan berdampingan dan kembali ke tempat tidur masing – masing tuk
melepas kepenatan yang ada. Senyuman terakhir menjelang tidur pun kembali
terukir dari raut wajah keduanya.
Sinar
sang mentari menyengat kulit, membangunkan para penghuni kapal. Tidak ketinggalan
pula Stefen dan Avril, yang mana keduanya terbangun dan langsung bertatapan
satu dengan yang lain dan saling menyapa “selamat pagi”, meski tempat tidur
mereka berada diantara dua tempat tidur yang terbentang di depan mereka.
Saat
untuk membersihkan diri telah tiba. Avril yang tadinya tengah sibuk merapikan
rambut, akhirnya harus bergegas untuk mandi. Di tempat yang lain,Stefen lebih
menyibukkan diri untuk merapikan isi dalam tasnya dan meneguk segelas air
putih. Tiba – tiba Avril keluar dari kamar mandi dan memasang wajah tak
bersahabat. Ternyata ia lupa membawa sabun mandi. Stenly yang awalnya mengetahui
kejadian tersebut langsung memberitahu Stefen dengan cekatan. “Kakak . .nona yang
berkaca mata itu, saat ini tengah kebingungan. Sedari tadi ia tengah mencari
sabun untuk mandi.” Stefen pun langsung mengambil sebuah sabun dan dengan
langkah seribu ia pun menghampiri Avril yang tengah berada dikantin kapal.
“Hai,
gigi . . .sedang apa di sini? Saya pikir sedang bersihkan badan dikamar mandi.
Ternyata anak orang sedang nongkrong pagi – pagi di sini,” cetus Stefen sambil
bergurau ria. “Huhftt . . .saya lagi kebingungan,” papar Avril dengan polosnya.
Stefen tetap mencari cara agar membuat Avril tidak terkesan kebingungan. Ia pun
kembali bertanya, pura – pura tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Bingung?
Bingung kenapa? Masa masih pagi begini anak orang sudah kebingungan? Ayo . .ada
apa nie?,” gurau Stefen dengan santainya.Avril memilih untuk diam seribu
bahasa, bukannya membalas pertanyaan yang dilontarkan oleh rekan
seperjalanannya. Dalam diam itulah, Stefen langsung memberikan sebuah sabun
mandi kepada gadis yang tengah diam disampingnya.
LUX
UNGU, itulah merk dan
warna sabun yang diberikan Stefen kepada Avril. Dengan serta merta Avril pun
menerima pemberian Stefen dengan wajah sumringah penuh senyum sambil berkata, “Mite
. . thanks, untuk sabunnya. Darimana kamu tahu kalau saya lagi membutuhkan
barang ini. Tapi tak apalah,tak peduli kamu tahunya dari siapa. Intinya
sekarang saya bisa membersihkanbadan di pagi ini.”
Sejak
kejadian itu, maka timbullah satu rasa yang tengah bergejolak diantara keduanya.
Akhirnya, kisah itu terungkap dan menumbuhkan benih – benih asmara yang mana
dinamakan cinta. Sabun Lux ungu yang telah menyatukan hati
keduanya, sehingga mereka pun sepekat untuk membangun hubungan yang sebagaimana
sepasang kekasih seusia mereka.