Ketika saat panen padi sudah mendekat, sebagai pendahuluan orang merayakan peska Ka Poka. Atalaki (Sesepuh Adat) dari Ranggase pergi ke “Jopu” (Nama Kampung) dan menyampaikan kepada ketiga Atalaki disana, bahwa tiga hari lagi; tiga hari sesudah bulan purnama, pesta Ka Poka sudah harus dirayakan.
Pada hari yang sudah ditentukan Atalaki utama dari Ranggase pergi ke Hanga (nama tempat) sambil membawa sebuah gendang. Ia mamukul gendang, pergi kekali (sungai) sambil berseru : “Dalam waktu tujuh hari lagi kita akan merayakan pesta Ka Poka” sesudah itu Lame memukul lagi gendangnya. Ia mengatakan tujuh hari lagi tapi sesungguhnya yang dimaksuhkan ialah dua hari lagi. Seruan ini diulang sebanyak empat kali.
Pada hari kedua sesudah pengumuman tersebut, gadis gadis perawan dikampung adat itu menjemur padi pada pagi hari serta menumbuk nya pada sore hari, sedangkan wanita lain menimba air. Dilain pihak para lelaki sibuk menangkap ayam. Pada sora hari itu juga para Atalaki dari kampung sebelah yaitu kampung “Mbuliwaralau” datang sambil membawa beras,ayam, potongan kulit kerbau dan tujuh dendeng kerbau yang akan menjadi kurban digunung yang ada dibelakang kampung Ranggase. Berdasarkan cerita sejarah sejaka dahulu kala dari kampung tersebut, ketika ada bencana yaitu banjir, sejumlah orang lari dan berlindung digunung tersebut. Pada waktu air semakin naik , gunung itu pun semakin meninggi dan kerena itu selamatlah orang orang pada waktu itu. Setelah fenomena alam tersebut, mereka mendirikan sebuah hanga (tempat memberi makan nenek moyang) diatas gunung yang hingga kini selalu dirayakan pesta Ka Poka, dengan seremoni adat istiadat setempat.
Untuk mengawali ritual tersebut, orang orang memasak nasi dan daging ayam dikampung, lalu nasi yang tlah masak diisi didalam “wati” (sebuah wadah yang terbuat dari anyaman daun lontar) sedangkan daging ayam diisi didalam kuali yang terbuat dari tanah. Hanya sebagian kecil masakan itu dipersembahkan di “wisululu” (bagian dalam rumah yang paling belakang sebelah kanan tempat mempersembahkan sesajen). Seorang anggota keluarga diminta untuk pergi membawakan persembahan keheda dan hanga, kepekuburan, serta bhaku (tempat penyimpanan tulang para leluhur) . sesudah itu baru mereka diperbolehkan untuk makan bersama.
Pada hari berikutnya, pada subuh hari sekitar jam empat, seorang dari masing masing anggota keluarga membawa sebuah bakul kecil berisi nasi dan daging kerbau yang sudah dimasak menjadi lebek dan mengantarkan nya keatas gunung tersebut untuk dipersebahakan buat “keliwolo” (gunung atau bukit). Orang yang pertama mencapai puncak gunung beruntung,karena tidak dicaci maki dan diejek begitu pula sebaliknya. Akan tetapi orang yang dikatai dan dicacimaki menurut adat tertulis mereka tidak boleh dendam atau pun marah terhadap orang lain.
Apabila semua orang telah tiba diatas gunung tersebut, pergilah mereka kehanga yang mereka bangun untuk meletakkan persebahan mereka yang berupa nasi dan kulit kerbau dan barang siapa yang tidak hadir pada acara itu mereka akan dikenai denda seekor kerbau agar dia mendapat bagiannya dalam persebahan tersebut. Lalu mereka semua bernyanyai :

io ela, ioela,ioela,ioela !!
Ebegheta,
Ebemena,
Are mera o mbuisomba
Dhera-dhera se ke’a kaka kena

Terjemahanya
io ela, ioela,ioela,ioela !!
wahai kamu yang ada disebelah utara
wahai kamu yang ada disebelah timur
ini berah merah yang kami persebahkan,
terimalah dari semua piring,mangkok dan tempurung

sesudah itu , sedikit bagian dari persebahan tersebut merekan santap. Orang yang membawakan persebahan pertama dapat memberikan nasinya sedikit kepada yang lain. Nasi itu dinamakan Are Aeuja (Nasi air hujan) dan selanjutnya seorang dari mereka harus lari kekampung untuk membawa Are aeuja itu sebelum matahari terbit, supaya sinar matahari tidak mengenai nasi tersebut. Seandainya sinar matahari mengenai nasi maka diyakini bahwa semua benih padi akan mati. Dan dua hari berikutnya orang tidak boleh menyentuh tumbuhan hijau dan juga tanah tidak boleh dilukai . sisa nasi dari persembahan itu hanya boleh dimakan oleh anggota keluarga dari orang yang membawakan kurban itu. Orang asing dan hamba hambanya tidak diijinkan untuk memakan nya. Sesudah perayaan tersebut, orang boleh memulai panen padi dan jagung. Upacara ini sudah diwariskan secara turun temurun dan slalu dilakukan oleh generasi dari masa lampau dan untuk masa akan datang. Semoga generasi sekarang sadar betul dangan kehadiran istiadat ditengah peradapan global.

sumber :Literatur sejarah lisan dan data, P. Paul Arnt. SVD